Locations of visitors to this page APKLI: PKL DI USIR MEMBUAT RAKYAT MAKIN SENGSARA

Selasa, 15 Maret 2011

PKL DI USIR MEMBUAT RAKYAT MAKIN SENGSARA

APKLI



JAKARTA

Penggusuran terhadap pedagang Kaki-5 membuat rakyat kecil makin sengsara dan menambah pengangguran.Pemprov DKI Jakarta dinilai seenaknya menggusur  tempat usaha demi kepentingan Piala Adipura.
Tudingan itu ditegaskan Ketua Umum Asosiasi Pedagang Kaki-5 Indonesia (APKLI) Jakarta , Hoiza Siregar, Rabu (14/10).
Menurutnya,  saat ini ada sekitar 30 ribu anggota APKLI Jakarta, 35 persen atau sekitar 11 ribu di antaranya kini menganggur. “Mestinya pemprov tidak asal main gusur tapi sebelum bertindak, pedagang disediakan tempat pengganti yang layak. Bukan lokasi pengganti seperti kuburan yang sepi pembeli,” papar Hoiza.
Dia juga juga mendesak DPRD, khususnya Komisi B  lebih peduli terhadap nasib pedagang Kaki-5. Menganggurkan banyak pedagang sektor infotmal ini otomatis menyengsarakan mereka dan anggota keluarganya.
Pengadaan lokasi pedagang kecil, berdasarkan Perda Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perpasaran Swasta, dapat ditampung di gedung mal. “Dalam  perda dijelaskan bahwa 20 persen areal mal merupakan hak pedagang kecil. Jadi, pejabat bisa memaksa pengusaha mal mematuhi aturan,” tandas Hoiza.
Pemindahan Kaki-5 dari lokasi binaan yang selama ini dilakukan ke sejumlah gedung pasar maupun mal, menurutnya tidak memecahkan masalah. Alasannya, tempat untuk Kaki-5 di pasar atau mal berada pada posisi yang sepi pengunng.
“Kami  ditampung di mal atau pasar yang tidak laku. Cilakanya,  setelah ramai,  lokasi yang kami tempati  diambil-alih pengusaha. Mestinya Kaki-5 ditempatkan secara beramai-ramai dan permanen sehingga pembeli akan datang dengan sendirinya,” ujarnya.
Menyikapi pembongkaran lapak Kaki-5 yang berada di badan jalan, di atas trotoar dan lainnya oleh aparat pemprov, sosiolog dari Universitas Indonesia, Imam Prasodjo, mengatakan penertiban tidak akan pernah efektif  karena Jakarta akan terus didatangi warga dari berbagai daerah.
“ Langkah pemprov dalam memberi sarana bagi pedagang tidak akan cukup untuk menampung keberadaan mereka,” tegasnya.
Solusinya, kata Imam, melakukan koordinasi dengan pemerintah daerah asal pedagang terutama dari daerah yang merupakan pintu masuk Jakarta  seperti Cikampek, Purwakarta, dan Bekasi. “Penanganan Kaki-5 juga  tidak cukup hanya dilakukan pemerintah daerah. Harus ada campur tangan pemerintah pusat,” sambungnya.
Langkah lainnya ditambahkan Imam yakni melakukan antisipasi awal yakni sejak Kaki-5 masih dalam jumlah sedikit pada suatu lokasi. “Sayangnya itu tidak dilakukan pemprov. Dampaknya kerap terjadi konflik saat penertiban. Kaki-5 seakan dijadikan proyek bagi pemerintah untuk mengambil keuntungan,” tegas Imam.
BUKAN PENGGUSURAN
Di tempat terpisah, Ade Soeharsono, Kepala Dinas Koperasi, Usaha Kecil Menengah (UKM) dan Perdagangan DKI, menolak istilah penggusuran terhadap  Kaki-5. Alasannya, yang dilakukan pemprov adalah  penertiban atau  penataan. Pasalnya, setelah penertiban, mereka masih diberi kesempatan untuk berusaha dengan menempatkan pedagang pada lokasi penampungan sementara.
Dikatakan Ade, penataan Kaki-5 dilakukan untuk menyesuaikan kebutuhan tata ruang wilayah tata kota. “Kewenangan ini berada di tangan masing-masing walikota,” ujar Ade.
Umumnya mereka yang ditampung hanya diizinkan selama satu tahun dapat ditambah perpanjangan  pada tahun selanjutnya.
“Jakarta bukan kota tertutup untuk berusaha, asalkan sesuai peraturan salah satunya keberadaan usaha,” sambung Ade.
Data Dinas Koperasi UKM dan Perdagangan DKI mencatat di Jakarta hingga saat ini terdapat sedikitnya 105.608  Kaki-5. Jumlah tersebut tersebar di lima wilayah kota.

Tidak ada komentar: